Friday, November 30, 2018

Non Performing Financing (NPF) Bank Umum Syariah Studi Kasus













Non Performing Financing (NPF) adalah  pembiayaan yang terjadi ketika pihak debitur (mudharib) karena berbagai sebab tidak dapat memenuhi kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman, hal ini berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/24/DPbs tahun 2007 tentang sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah. 

Otoritas Jasa Keuangan mengatur tentang Non Performing Financing dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status Dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. Dalam POJK ini dinyatakan bahwa rasio kredit  bermasalah secara neto (Non Performing Loan/NPL net)  atau  rasio  pembiayaan  bermasalah secara neto (Non Performing Financing/NPF net) lebih dari  5%  (lima  persen)  dari  total  kredit  atau  total pembiayaan.

Jika dilihat data dari soal di atas, maka berdasarkan POJK no. 15/POJK.03/2017 NPF belum melewati 5% secara total, namun perlu dirinci data NPF dari masing-masing Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit Usaha Syariah (UUS) 

Menurut analisa kami ada beberapa faktor yang mempengaruhi Non Performing Financing di Indonesia dalam kurun waktu   2015 – 2018 diantaranya :

  1. Manajemen risiko pembiayaan yang kurang dijalankan dengan maksimal.
  2. Gejolak ekonomi nasional, seperti inflasi, perampingan usaha dengan PHK, nilai tukar rupiah yang melemah dsb
  3. Tersendatnya pertumbuhan sektor riil terutama terjadi pada sektor pertambangan, komoditas dan sektor penunjangnya seperti tranportasi pengangkutan barang tambang dan komoditas. Pembiayaan syariah sangat erat kaitannya dengan sektor riil, karena mayoritas skema akad pembiayaan syariah adalah untuk mendukung sektor riil yang produktif.
  4. Isu permodalan yang terbatas.
  5. Biaya dana (cost of fund) yang relative tinggi yang disebabkan tidak banyaknya dana murah di portofolio BUS/UUS.
  6. Keberpihakan pemerintah kepada lembaga keuangan syariah dari sisi funding maupun lending masih belum optimal.
  7. Ketersediaan infrastruktur dan jaringan (networking) perbankan syariah yang belum menjangkau sampai ke pelosok.
  8. Kompleksitas produk yang masih tinggi, karena mayoritas nasabah tertarik pada produk yang secara persyaratan tidak banyak membutuhkan dokumen.


Jika dilihat data dari Laporan keuangan dari masing-masing BUS maka diperoleh data NPF adalah sebagai berikut :




Analisa sementara kami adalah, BUS dengan NPF net tertinggi adalah Bank BRI Syariah dimana masalah utama adalah permodalan yang terbatas, namun sudah dapat diatasi dengan melakukan Initial Public Offering (IPO). Dalam penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO), anak usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) ini memperoleh dana segar mencapai Rp 1,34 triliun, sekitar 80% dana hasil IPO dialokasikan untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan. Untuk jangka pendek BRIS fokus menyalurkan pembiayaan pada segmen komersial dan turunannya. Hal ini dilakukan untuk mengangkat Financing to Deposit Ratio (FDR).

Sementara, di saat bersamaan dan untuk jangka panjang, BRI Syariah juga fokus pada segmen consumer banking. Di tengah ekspansi gencar menyalurkan pembiayaan, BRIS juga akan melakukan pemetaan untuk menurunkan non performing financing (NPF). Salah satunya dengan meningkatkan pencadangan. 

BUS dengan NPF net terendah adalah Bank BTPN Syariah salah satu faktor pendukungnya adalah bisnis model yang unik, menyasar ibu-ibu dari kelompok prasejahtera produktif dengan nilai pembiayaan rata-rata Rp 2 juta per nasabah demi terbukanya akses keuangan untuk seluruh lapisan masyarakat. Selain itu manajemen menjalankan fungsi intermediasi dengan seimbang dan melakukan program pendampingan.
Sumber : Kontan.co.id.
 
Demikian pendapat kami atas studi kasus yang disampaikan, semoga bermanfaat. Barakallahu fikum

Jazakumullahu khayran katshira


No comments:

Post a Comment