Tuesday, December 11, 2018

Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada
pasal 7. Kestabilan rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama
kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin
dari perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan perkembangan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
 
Dalam konteks perkembangan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain, Indonesia
menganut sistem nilai tukar mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat
penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karena itu, Bank
Indonesia juga menjalankan kebijakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar agar sesuai
dengan nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Dalam upaya mencapai tujuan rersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan
kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan
tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh
Undang-Undang. Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan
(overriding objective). Bank Indonesia secara konsisten terus melakukan berbagai
penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan perubahan dinamika dan
tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.
 
Kerangka Kebijakan Moneter
 
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang
dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF) dengan penggunaan suku bunga sebagai
sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli 2005, setelah
sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money)
sebagai sasaran kebijakan moneter.
Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting
yang mengemuka adalah diperlukannya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk
merespons perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran sektor keuangan yang
semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan perkembangan
tersebut, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.
 
Apa itu Flexible ITF?
 
Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah
terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk pengumuman sasaran inflasi kepada publik,
kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking, dan akuntabilitas kebijakan
kepada publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF. Kerangka Flexible ITF
dibangun berdasarkan 5 (lima) elemen pokok.
  1. Pertama, inflasi tetap merupakan target utama kebijakan moneter.
  2. Kedua, pengintegrasian kebijakan moneter dengan kebijakan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan mendukung stabilitas makroekonomi.
  3. Ketiga, penguatan kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makro ekonomi.
  4. Keempat, penguatan koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah baik untuk pengendalian inflasi maupun stabilitas sistem keuangan.
  5. Kelima, penguatan komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.

Mengapa Flexible ITF?

Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008/2009 mengharuskan bank sentral untuk
melakukan stabilitas sistem keuangan dan penyelamatan perekonomian. Kebijakan yang
hanya mengedepankan penerapan ITF menunjukkan pelemahan. Hal ini dikarenakan
penerapan ITF secara ketat yang hanya fokus pada mandat kebijakan moneter untuk menjaga
inflasi sesuai dengan targetnya tidak cukup untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian
secara keseluruhan.
 
Seiring dengan semakin besarnya peran sistem keuangan dalam perekonomian, dampak
ketidakstabilan sistem keuangan menjadi semakin signifikan. Hal ini tercermin pada dari
besarnya biaya penyelamatan dan juga beratnya dampak yang ditimbulkan oleh krisis
keuangan global tahun 2008/2009, sehingga menyadarkan pentingnya peran bank sentral
untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan.
 
Strategi kebijakan moneter pasca krisis keuangan global 2008/2009, bank sentral dituntut
untuk semakin memperkuat stabilitas sistem keuangan untuk memastikan perekonomian dan
sistem keuangan berada dalam kondisi stabil, baik dari sisi makroekonomi maupun sektor
keuangan.Oleh karena itu, Bank Indonesia memperkuat kerangka ITF menjadi flexible ITF
dengan semakin memperkuat mandatnya dalam kebijakan moneter dan stabilitas sistem
keuangan.
 
Bagaimana Flexible ITF diterapkan?
 
Dalam implementasi kerangka flexible ITF, Bank Indonesia menerapkan bauran kebijakan
(policy mix) dalam rangka menjaga keseimbangan internal dan eksternal.
Terkait dengan strategi penargetan inflasi (inflation targeting), Bank Indonesia
mengumumkan sasaran inflasi ke depan pada periode tertentu. Setiap periode Bank Indonesia
mengevaluasi apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan berbagai informasi tersedia untuk
menggambarkan kondisi inflasi ke depan.
 
Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai asesmen terhadap
kondisi terkini dan outlook inflasi ke depan, keputusan yang diambil, serta arah kebijakan ke
depan yang akan diambil untuk menjaga inflasi sesuai dengan sasarannya (forward
guidance).
 
Bersamaan dengan implementasi flexible ITF, Bank Indonesia menjadikan BI 7-day
(Reverse) Repo Rate (BI7DRR) sebagai suku bunga kebijakan yang merepresentasikan sinyal
respons kebijakan moneter dalam mengendalikan inflasi sesuai dengan sasaran. Penggunaan
BI7DRR sebagai suku bunga acuan merupakan bagian dari reformulasi kebijakan moneter
yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Reformulasi memiliki tiga tujuan utama. Pertama,
memperkuat sinyal arah kebijakan moneter. Kedua, memperkuat efektivitas transmisi
kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku
bunga perbankan. Ketiga, mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya transaksi dan
pembentukan struktur suku bunga di PUAB untuk tenor 3 bulan hingga 12 bulan.
Dalam implementasinya, reformulasi memegang empat prinsip. Pertama, reformulasi tidak
mengubah kerangka kebijakan moneter karena Bank Indonesia tetap menerapkan flexible
ITF. Kedua, reformulasi tidak untuk mengubah stance kebijakan moneter yang sedang
ditempuh. Ketiga, reformulasi membuat suku bunga kebijakan terefleksikan di instrumen
moneter dan dapat ditransaksikan dengan Bank Indonesia. Keempat, penentuan suku bunga
sasaran operasional berdasarkan pertimbangan dapat dipengaruhi suku bunga kebijakan.
Sesuai dengan prinsip kedua implementasi reformulasi, perubahan tersebut tidak mengubah
stance kebijakan moneter karena kedua suku bunga kebijakan BI Rate dan BI7DRR berada
dalam satu struktur suku bunga (term structure) yang sama dalam mengarahkan inflasi agar
sesuai dengan sasarannya. Perbedaan hanya terlihat pada tenor instrumen, yakni BI Rate
setara dengan instrumen moneter 12 bulan, sedangkan BI7DRR setara dengan instrumen
moneter 7 hari.
 
Implementasi flexible ITF juga ditujukan untuk mencapai stabilitas sistem keuangan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, implementasi flexible ITF didukung oleh penerapan kebijakan
makroprudensial. Kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan yang difokuskan pada
interaksi antar lembaga keuangan, pasar, infrastruktur, dan ekonomi yang lebih luas,
termasuk pengukuran potensi risiko ke depan. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah risiko
sistemik yang berpotensi menimbulkan krisis sistem keuangan akibat kondisi makroekonomi.
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai kebijakan makroprudensial dapat dilihat pada:
(Link ke kebijakan makroprudensial).
 
Implementasi flexible ITF juga didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar. Kebijakan
nilai tukar yang ditempuh Bank Indonesia dalam rangka mengelola stabilitas nilai tukar
rupiah agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap mendorong bekerjanya
mekanisme pasar. Kebijakan nilai tukar dilakukan dalam rangka mengurangi gejolak yang
muncul dari ketidakseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valuta asing (valas),
melalui intervensi valas dan dual intervention. Strategi dual intervention dilakukan melalui
intervensi jual di pasar valas yang disertai dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN)
di pasar sekunder. Strategi dual intervention dilakukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar
dan sekaligus menjaga kecukupan likuiditas rupiah.
 
Berbagai kebijakan tersebut diperkuat oleh koordinasi kebijakan bersama Pemerintah,
khususnya terkait dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah terutama diarahkan untuk
menjaga ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan stabilisasi harga pangan guna
mendukung terkendalinya inflasi. Koordinasi kebijakan pengendalian inflasi antara Bank
Indonesia dengan Pemerintah yang semakin kuat diwujudkan melalui forum Tim Pengendali
Inflasi (TPI) baik di pusat maupun daerah.
 
Transmisi Kebijakan Moneter
 
Bagaimana Bekerjanya Kebijakan Moneter?
 
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang
salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu
Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI 7DRR sebagai instrumen kebijakan
utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian
inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI 7DRR sampai dengan pencapaian
sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag).
 
Mekanisme bekerjanya perubahan BI 7DRR sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering
disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme ini menggambarkan
tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target
operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya
berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank
Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI 7DRR mempengaruhi
inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur
harga aset, dan jalur ekspektasi.
 


Pada jalur suku bunga, perubahan BI 7DRR mempengaruhi suku bunga deposito dan suku
bunga kredit perbankan. Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia
dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk
mendorong aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI 7DRR menurunkan suku bunga
kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.
Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk
melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga
aktifitas perekonomian semakin bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami
kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI 7DRR untuk
mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.
 
Perubahan suku bunga BI 7DRR juga dapat mempengaruhi nilai tukar. Mekanisme ini sering
disebut jalur nilai tukar. Kenaikan BI 7DRR, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan
selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya
selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam
instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan
tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan
mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang
impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang
kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini
akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
 
Perubahan suku bunga BI 7DRR mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan
harga aset. Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi
sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi
kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi.
 
Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi
publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan
mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk
mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi. Upah ini pada
akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.
 
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag). Time lag
masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih
cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat. Kondisi
sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan
moneter. Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan
terhadap penurunan suku bunga BI 7DRR biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan
sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit
dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran
kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon
oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang
lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi sektor riil sangat
berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.
 
Sumber: www.bi.go.id

No comments:

Post a Comment