Kegiatan
usaha asuransi senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat
dengan fungsi perusahaan asuransi sebagai lembaga keuangan. Pesatnya perkembangan lingkungan eksternal dan
internal perasuransian juga menyebabkan semakin kompleksnya risiko kegiatan
usaha perasuransian, sehingga kebutuhan praktek tata kelola perusahaan yang
sehat, Good Corporate Governance (GCG) semakin meningkat.
Salah satu
aspek penting dalam Good Corporate Governance adalah perlu diterapkannya
manajemen risiko, terlebih dalam bidang perasuransian. Oleh karena itu, agar
mampu beradaptasi dalam lingkungan bisnis perasuransian, perusahaan asuransi
dituntut untuk menerapkan manajemen risiko yang meliputi proses indentifikasi,
pengukuran, pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian risiko, serta sistem
pengendalian intern.
Manajemen
risiko memiliki peranan penting dalam pengelolaan perusahaan, antara lain
yaitu:
- Memberikan gambaran kepada pengelola perusahaan mengenai kemungkinan kerugian perusahaan pada masa mendatang.
- Meningkatkan metode dan proses pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan pada ketersediaan data;
- digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja perusahaan;
- digunakan untuk menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan perusahaan yang komplek;
- menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing perusahaan.
Bagi otoritas
pengawasan perusahaan perasuransian, penerapan manajemen risiko akan
mempermudah penilaian terhadap kemungkinan kerugian yang dihadapi perusahaan.
Untuk itu,
manajemen Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah senantiasa memfokuskan perhatian
pada tata kelola perusahaan serta manajemen risiko yang baik sebagai dasar
pengelolaan perusahaan secara baik dan sehat. Salah satu langkah yang ditempuh
adalah dengan menyusun Pedoman Penerapan Manajemen Risiko Perusahaan, serta
memperbaharuinya secara berkala sesuai dengan kebutuhan bisnis serta
perkembangan industri dan regulasi di bidang perasuransian.
Penyusunan pedoman penerapan manajemen risiko mengacu
pada ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam regulasinya
dalam bentuk:
1.
Peraturan OJK
Nomor 10/POJK.05/2014 tentang Penilaian Tingkat Risiko Lembaga Jasa Keuangan
Non-Bank;
2.
Surat Edaran
OJK Nomor 3/SEOJK.05/2015 tentang Penilaian Tingkat Risiko Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi; serta
3.
Peraturan OJK
Nomor 1/POJK.05/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa
Keuangan Non-Bank.
ISTILAH DAN
DEFINISI
Pada pedoman
penerapan manajemen risiko, digunakan beberapa istilah dan definisi yang
bertujuan untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Penetapan istilah dan
definisi disesuaikan dengan kebutuhan penggunaan dalam pedoman ini, yaitu
sebagai berikut.
- Daftar Risiko (Risk Register) adalah alat yang digunakan perusahaan untuk mencatat risiko yang telah teridentifikasi, menilai risiko, dan mengidentifikasi kontrol yang sudah ada dan yang masih perlu dilakukan.
- Dampak (Impact) adalah akibat dari suatu peristiwa yang mempengaruhi sasaran.
- Identifikasi Risiko adalah suatu proses untuk melakukan inventarisasi risiko pada setiap aktivitas yang dilakukan di dalam perusahaan.
- Kemungkinan (Likelihood) adalah kemungkinan sesuatu terjadi.
- Penetapan Konteks adalah proses untuk menentukan batasan dan parameter eksternal dan internal yang harus dipertimbangkan dalam mengelola risiko dan menentukan lingkup serta kritreia risiko dalam kebijakan manajemen risiko.
- Pemantauan (Monitoring) adalah suatu proses yang dilakukan secara terus menerus untuk memeriksa, mengawasi, dan melakukan pengamatan secara kritis untuk dapat mengidentifikasi terjadinya perubahan dari tingkat kinerja atau sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan pengelolaan risiko.
- Pemilik Risiko (Risk Owner) adalah orang atau suatu entitas yang mempunyai akuntabilitas dan kewenangan untuk mengelola suatu risiko.
- Peristiwa/kejadian (Event) adalah perubahan yang terjadi pada suatu kondisi atau lingkungan tertentu.
- Perlakuan Risiko (risk treatment) adalah tindakan yang diambil manajemen untuk mengurangi risiko (dampak dan/atau kemungkinan) sampai pada tingkat residual yang dapat diterima, sesuai dengan risk appetite atau risk tolerance.
- Peta Risiko (risk map) adalah representasi grafis dari kejadian risiko atas dasar tingkatan impact dan likelihood dalam suatu unit bisnis tertentu, yang digunakan untuk menunjukkan posisi risiko dan menentukan prioritas penanganan.
- Profil Risiko adalah gambaran atau uraian dari suatu kelompok risiko.
- Proses Manajemen Risiko adalah penerapan secara sistematik kebijakan manajemen, prosedur, dan praktik manajemen dalam pelaksanaan tugas untuk melakukan identifikasi risiko, pengukuran risiko, evaluasi dan pemataan risiko, serta pemantauan dan pelaporan.
- Risiko (Risk) adalah potensi kerugian dari suatu peristiwa yang dapat menyebabkan tidak tercapainya sasaran atau tujuan yang diinginkan.
- Risiko tanpa kontrol (Inherent Risk) adalah risiko yang diidentifikasi sebelum dilakukan kontrol/ mitigasi/treatment.
- Risiko Tersisa (Residual Risk) adalah risiko yang masih tersisa setelah dilakukan kontrol/mitigasi/treatment.
- Selera Risiko (Risk Appetite) adalah jumlah dan jenis risiko yang siap ditangani atau diterima oleh organisasi
- Sumber Risiko adalah segala sesuatu yang baik sendiri ataupun bersama-sama mempunyai potensi yang melekat (intrinsik) untuk menimbulkan terjadinya risiko.
- Toleransi Risiko (Risk Tolerance) adalah kesiapan organisasi atau pemangku kepentingan untuk menanggung risiko setelah perlakuan risiko dalam upaya mencapai sasaran.
PILAR
MANAJEMEN RISIKO
Perusahaan
asuransi jiwa syariah menjalankan penerapan manajemen risiko secara efektif
yang mencakup 5 (lima) pilar, yaitu:
1.
Pengawasan
Aktif Direksi dan Dewan Komisaris
Direksi dan
Dewan Komisaris bertanggung jawab atas efektivitas penerapan manajemen risiko
di perusahaan. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Direksi dan Dewan
Komisaris mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
- Memberikan arahan yang jelas mengenai kebijakan strategis manajemen risiko kepada seluruh unit kerja;
- Melakukan pengawasan dan mitigasi secara aktif;
- Mengembangkan budaya sadar risiko;
- Memastikan struktur organisasi yang memadai
- Menetapkan tugas dan tanggung jawab yang jelas pada masing-masing unit kerja; serta
- Memastikan kecukupan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung penerapan manajemen risiko secara efektif.
2.
Kecukupan
Kebijakan, Prosedur, dan Penetapan Konteks
Agar
penerapan manajemen risiko berjalan efektif, maka harus didukung dengan kerangka
yang mencakup kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang disertai dengan
penetapan konteks yang ditetapkan secara jelas sejalan dengan visi, misi, dan
nilai perusahaan.
3.
Kecukupan
Proses Manajemen Risiko
Identifikasi,
pengukuran, evaluasi dan pemetaan, perlakuan, pemantauan, serta pelaporan
risiko merupakan bagian utama dari proses penerapan manajemen risiko. Proses
manajemen risiko bersifat proaktif, mencakup seluruh aktivitas bisnis
perusahaan dan dilakukan dalam rangka mengelola risiko yang mungkin timbul di
masa mendatang yang dapat mengakibatkan kerugian atau tidak tercapainya visi
dan misi perusahaan.
4.
Sistem
Informasi Manajemen Risiko
Untuk
mendukung proses manajemen risiko, perusahaan mengembangkan sistem informasi
manajemen yang disesuaikan dengan karakteristik dan tingkat kompleksitas
kegiatan usaha perusahaan.
5.
Sistem
Pengendalian Intern
Untuk
mencapai proses penerapan manajemen risiko efektif, perusahaan menerapkan
sistem pengendalian intern. Penerapan sistem pengendalian intern secara efektif
dapat membantu perusahaan menjaga asetnya, memastikan tersedianya laporan
keuangan dan manajerial yang reliable, dan meningkatkan kepatuhan perusahaan
terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku.
KATEGORI
RISIKO
Dalam
pengklasifikasiannya, Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah membagi risiko menjadi 7
(tujuh) kategori jenis risiko, dengan mengikuti kategori yang ditetapkan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yakni sebagai berikut.
1.
Risiko
Kepengurusan
Risiko
Kepengurusan adalah risiko yang muncul akibat kegagalan perusahaan dalam
memelihara komposisi terbaik pengurusnya, yaitu direksi dan dewan komisaris,
yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi.
2.
Risiko Tata
Kelola
Risiko Tata
Kelola adalah risiko yang muncul karena adanya potensi kegagalan dalam
pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, GCG),
ketidaktepatan gaya manajemen, lingkungan pengendalian, dan perilaku dari
setiap pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan perusahaan.
3.
Risiko
Strategi
Risiko
Strategi adalah risiko yang muncul akibat kegagalan penetapan strategi yang
tepat dalam rangka pencapaian sasaran dan target utama perusahaan.
4.
Risiko
Operasional
Risiko
Operasional adalah risiko yang muncul sebagai akibat ketidaklayakan atau
kegagalan proses internal, manusia, sistem teknologi informasi dan/atau adanya
kejadian yang berasal dari luar lingkungan perusahaan.
5.
Risiko Aset
dan Liabilitas
Risiko Aset
dan Liabilitas adalah risiko yang muncul sebagai akibat kegagalan pengelolaan
aset dan liabilitas perusahaan.
6.
Risiko
Dukungan Dana
Risiko
Dukungan Dana adalah risiko yang muncul akibat ketidakcukupan dana/modal yang
ada pada perusahaan, termasuk kurangnya akses tambahan dana/modal dalam
menghadapi kerugian atau kebutuhan dana/modal yang tidak terduga.
7.
Risiko
Asuransi
Risiko
Asuransi adalah risiko kegagalan perusahaan untuk memenuhi kewajiban kepada
tertanggung dan pemegang polis sebagai akibat dari ketidakcukupan proses seleksi
risiko (underwriting), penetapan premi (pricing), penggunaan reasuransi,
dan/atau penanganan klaim.
PROSES MANAJEMEN RISIKO
Proses yang
dilaksanakan dalam penerapan manajemen risiko berlangsung secara terus menerus
dalam satu siklus manajemen risiko sebagai berikut.
1.
Identifikasi
Risiko (Risk Identification)
Pada tahap
ini, perusahaan melakukan identifikasi atas kejadian maupun potensi kejadian
yang apabila terjadi akan mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan (berpotensi
merugikan perusahaan). Output yang dihasilkan pada tahap ini adalah daftar dan
jenis risiko dari setiap unit kerja di perusahaan. Dasar identifikasi risiko
bisa dari Key Performance Indicator (KPI), Business Process, Job Description,
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, Rencana Bisnis Perusahaan, Rencana
Strategis Perusahaan, Project Plan, dan sebagainya. Sementara teknik yang
digunakan dalam identifikasi risiko ini adalah retrospective, yaitu
mengidentifikasi risiko dari kejadian-kejadian yang pernah terjadi, dan
prospective, yaitu mengidentifikasi risiko dari kejadian yang belum pernah
terjadi.
2.
Pengukuran
Risiko (Risk Measurement)
Assessment
terhadap peristiwa risiko atau potensi risiko dilakukan untuk menentukan level
of risk (tingkat eksposur risiko) dengan melihat hasil kali 2 (dua) perspektif,
yaitu likelihood dan impact,. Informasi yang diiperlukan dalam melakukan
pengukuran risiko adalah seperti data histori, pengalaman masa lalu, hasil
riset pasar, hasil eksperimen, literatur yang berkaitan, dan sebagainya. Teknik
yang digunakan dalam pengukuran risiko adalah secara kualitatif, kuantitatif,
dan semi-kuantitatif. Sementara pendekatan yang digunakan dalam pengukuran
risiko adalah Focus Group Discussion, kuesioner, model dan simulasi, pendapat
para ahli, serta benchmarking.
3.
Evaluasi dan
Pemetaan Risiko (Evaluation and Risk mapping)
Evaluasi
risiko mengacu pada penetapan konteks apakah risiko tersebut melampaui risk
appetite dan risk tolerance atau tidak, dan mengurutkan prioritas risiko untuk
rencana penanganan. Output dari evaluasi risiko adalah risk map (peta risiko)
dan daftar prioritas risiko.
4.
Perlakuan
Risiko (Risk Treatment)
Dalam
menangani risiko, perusahaan mengambil 4 (empat) kategori strategi perlakuan
risiko yang disesuaikan berdasarkan situasi dan kondisi, yaitu sebagai berikut.
a. Menerima risiko (accept): menerima tingkat risiko yang terjadi (masih dalam batas selera dan toleransi risiko) dan mempertahankan atau mengelola risiko agar tidak berkembang ke tingkat yang lebih tinggi. Beberapa kondisi yang mengharuskan menerima risiko diantaranya adalah:
- Kerugian yang diderita adalah sesuatu yang wajar untuk mendapatan suatu manfaat lainnya (dampak risiko lebih kecil dibandingkan dengan manfaatnya);
- Biaya penanganan akan lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterima (level risiko rendah, sehingga biaya penanganannya menjadi tidak fleksibel);
- Tidak tersedia risk treatment untuk jenis risiko tertentu.
c. Mengurangi risiko (reduce): mengurangi kemungkinan dan/atau dampak dari suatu risiko, misalnya mengganti/membeli alat baru.
d. Menghindari risiko (avoid): menghindari risiko dengan tidak melakukan aktivitas atau berhenti melakukan aktivitasa yang menaikan risiko, seperti tidak mengambil atau memberhentikan bisnis yang memiliki profil risiko yang tidak bagus.
5.
Pemantauan
(Monitoring)
Hal-hal yang
termasuk tahap pemantauan dari proses manajemen risiko adalah sebagai berikut.
a. Pemantauan rutin terhadap kinerja aktual penerapan manajemen risiko terhadap rencana awal;
b. Memastikan cara pengendalian atau mitigasi risiko berjalan efektif;
c. Mengidentifikasi risiko-risiko baru yang timbul;
d. Fokus untuk risiko-risiko yang tinggi dan kritis, monitoring realisasi RMAP yang lebih sering dibanding risiko-risiko yang lebih rendah;;
e. Untuk risiko-risiko dengan tingkat rendah, tetap dimonitor untuk memastikan mereka tetap dalam kategori rendah dan tidak terjadi kenaikan yang signifikan; dan
f. Penyimpangan dari tiap-tiap langkah dalam proses manajemen risiko.
Pemantauan
dilakukan pada setiap jenjang organisasi perusahaan. Media pemantauan yang
digunakan antara lain: inspeksi lapangan, analisis laporan, survey, wawancara,
foto, rapat, forum diskusi, dan sebagainya. Beberapa output dari tahap pemantauan
ini diantaranya:
a.
proses
pembelajaran,
b.
penyesuaian
toleransi risiko, anggaran, dan target usaha,
c.
penyempurnaan
proses manajemen risiko,
d.
perbaikan
pedoman penerapan manajemen risiko,
e.
peningkatan
kepatuhan terhadap regulasi internal dan eksternal,
f.
meningkatkan
efektivitas pengendalian,
g.
adanya
risiko-risiko baru dan perubahan prioritas penanganan risiko, serta
h.
mendapatkan
informasi yang relevant, reliable, dan up to date mengenai kondisi pengelolaan
risiko di perusahaan.
6.
Pelaporan
Langkah
terakhir dari siklus proses manajemen risiko adalah pelaporan. Pelaporan
merupakan media untuk berkomunikasi dengan stakeholders yang disusun
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, dan sekurang-kurangnya
memuat:
a.
daftar risiko
(risk register);
Daftar
Risiko atau risk register diisi oleh risk owner dari seluruh unit kerja di
perusahaan yang ditandatangani oleh kepala divisi atau manajer unit kerja
terkait. Pengisian risk register dipandu dan diarahkan oleh Unit Kerja
(Section) Manajemen Risiko. Contoh format risk register dapat dilihat di
appendiks tulisan ini.
b.
peta risiko;
c.
laporan
risiko-risiko signifikan/prioritas utama;
d.
laporan
pelaksanaan dan progres mitigasi;
e.
perubahan
tingkat eksposur risiko;
f.
laporan
adanya risiko-risiko baru;
g.
laporan
pelanggaran terhadap risk tolerance dan/atau risk appetite;
h.
laporan
kekurangan atau kelemahan sistem pengendalian internal (apabila ada); dan
i.
laporan
temuan kelemahan pada tiap tahap proses manajemen risiko (apabila ada).
PERANGKAT
ORGANISASI
Penerapan
manajemen risiko perusahaan asuransi jiwa syariah dilaksanakan melalui suatu
mekanisme kerja yang terstruktur dan sistematis yang mengacu pada struktur
organisasi perusahaan dan job description. Adapun para pemangku kepentingan
yang terlibat dengan proses manajemen risiko adalah sebagai berikut.
1.
Dewan
Komisaris
Dewan
komisaris bertugas melakukan pengawasan atas pelaksanaan pengurusan perusahaan
oleh Direksi serta memberikan masukan atau arahan kepada Direksi yang di
dalamnya memuat aspek pengelolaan risiko.
2.
Direksi
Direksi
berperan sebagai pemangku akuntabilitas utama dalam memastikan pelaksanaan
pengelolaan risiko tingkat perusahaan berjalan secara efektif, proaktif, dan
berkesinambungan, beserta pengembangan berkelanjutan yang disesuaikan dengan
kebutuhan perusahaan.
Tugas dan
wewenang direksi dalam melakukan pengelolaan risiko adalah sebagai berikut.
a.
Menetapkan
kebijakan, pedoman, dan prosedur penerapan manajemen risiko yang akan dikaji
ulang setiap 2 (dua) tahun sekali atau jika terdapat perubahan yang signifikan;
b.
Memastikan
sasaran manajemen risiko sejalan dengan RKAP, rencana bisnis, dan rencana
strategis;
c.
Menetapkan
risk appetite dan risk tolerance yang digunakan sebagai ukuran batas penyerapan
risiko perusahaan;
d.
Bertanggung
jawab atas penerapan manajemen risiko;
e.
Mengembangkan
manajemen risiko menjadi budaya perusahaan pada seluruh jenjang organisasi
perusahaan;
f.
Memastikan
bahwa unit kerja yang dibentuk untuk mengelola manajemen risiko telah berfungsi
secara independen;
g.
Melaksanakan
koordinasi proses penerapan manajemen risiko secara terintegrasi di perusahaan;
h.
Bertanggung
jawab atas pengelolaan risiko dan penerapan manajemen risiko di seluruh unit
kerja atau seluruh proses bisnis perusahaan.
i.
Mengarahkan
dan menetapkan tindak lanjut mitigasi risiko yang perlu dilakukan terhadap
risiko yang telah teridentifikasi;
j.
Melaksanakan
evaluasi pedoman penerapan manajemen risiko sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
sekali untuk memastikan:
i.
Akurasi
metodologi assessment risiko;
ii.
Kecukupan
implementasi sistem manajemen risiko; dan
iii.
Ketepatan
kebijakan, prosedur, dan penetapan risk appetite dan/atau risk tolerance.
3.
Komite
Pemantau Risiko
Komite
pemantau risiko berperan sebagai suatu komite yang dibentuk oleh dewan komisaris
untuk mendukung fungsi pemantauan pelaksanaan manajemen risiko di perusahaan.
Komite pemantau risiko memiliki wewenang dan tugas yang mengacu pada ketentuan
yang ditetapkan dewan komisaris.
4.
Komite Audit
Komite audit
adalah sebuah komite di bawah dewan komisaris yang anggotanya ditunjuk oleh
dewan komisaris dalam rangka pemantauan kecukupan dan pelaksanaan pengendalian
internal di perusahaan.
5.
Komite
Investasi
Jika
diperlukan, direktur utama dapat membentuk komite investasi yang memberikan
fasilitasi dan konsultasi bagi direksi, khususnya direktur utama, dalam
pengambilan keputusan terhadap aktivitas investasi yang memiliki eksposur
risiko perusahan yang signifikan, serta memberikan saran-saran terkait dengan
kebijakan investasi dan rencana-rencana investasi.
Dalam hal
kondisi ekonomi makro mengalami kondisi tidak kondusif, komite ini berperan
memberikan peringatan terkait investasi untuk meminimalkan terjadinya kerugian
finansial perusahaan.
6.
Unit Kerja
(Section) Manajemen Risiko
Unit kerja
yang mengelola risiko dan mengkoordinasikan pelaksanaan manajemen risiko adalah
Unit Kerja (Section) Manajemen Risiko
yang secara struktural berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur
Utama. Unit Kerja (Section) Manajemen Risiko ini memiliki wewenang dan tanggung
jawab sebagai berikut.
a.
Memantau
pelaksanaan manajemen risiko di tingkat perusahaan;
b.
Membantu
Direksi dalam mengembangkan budaya sadar risiko;
c.
Menyusun dan
melaporkan laporan profil risiko perusahaan kepada direksi;
d.
Mengembangkan
dan mengusulkan pedoman penerapan manajemen risiko;
e.
Mengevaluasi
kesesuaian pedoman penerapan manajemen risiko, dan selera serta toleransi
risiko seacara berkala dan mengusulkan penyesuaian yang diperlukan kepada
direksi; serta
f.
Memberikan
masukan, saran, pandangan, tanggapan, fasilitasi, dan konsultasi kepada pemilik
risiko di seluruh jenjang organisasi perusahaan dalam menjalankan rangkaian
proses manajemen risiko, khususnya terkait pengelolaan risiko dengan eksposur
di tingkat strategis dan kebijakan.
g.
Sebagai
koordinator lintas Divisi/Departemen dalam melaksanakan penilaian mandiri (self
assessment) sesuai dengan SEOJK Nomor 5/SEOJK.05/2015 Tentang Penilaian Tingkat
Risiko Lembaga Jasa Keuangan Non Bank Syariah.
7.
Satuan
Pengendalian Internal (SPI)
Dalam
penerapan manajemen risiko, sebagai unit kerja yang dibentuk direksi untuk
membantu direksi dalam memeriksa keberlangsungan efektivitas pengendalian
internal dalam aktivitas operasional perusahaan secara independen, Unit Kerja
SPI memiliki wewenang dan tanggung jawab sebagai berikut.
a.
Meminta
laporan profil risiko perusahaan dan laporan penanganan risiko yang telah
diterima dan disetujui direksi, dari Unit Kerja pengelola risiko sebagai dasar
perencanaan audit internal berbasis risiko;
b.
Meminta
fasilitasi dan konsultasi serta informasi terkait lainnya dari Unit Kerja
(Section) Manajemen Risiko sehubungan dengan pelaksanaan penilaian mandiri yang
dilakukan dalam rangka audit internal berbasis risiko;
c.
Menentukan
dan mengajukan pendekatan dan metode audit internal berbasis risiko kepada
direktur utama;
d.
Menyusun dan
mengajukan rencana audit internal berbasis risiko kepada direktur utama;
e.
Melaksanakan
fungsi audit internal berbasis risiko di seluruh unit kerja perusahaan, beserta
identifikasi upaya pengembangan yang dibutuhkan, serta melaporkan temuan kepada
direktur utama, dengan ditembuskan kepada pihak internal terkait;
f.
Melaksanakan
pemeriksaan dan verifikasi secara objekif atas kesesuaian aktivitas operasional
dan proses manajemen risiko; dan
g.
Menyusun dan
mengajukan usulan kebijakan, sistem, dan prosedur kepatuhan-hukum, termasuk
pengkiniannya kepada direktur utama untuk proses persetujuan dan penetapan.
PENETAPAN KONTEKS
Penetapan konteks dilakukan untuk mendefinisikan parameter dasar tentang
risiko yang harus dikelola, dan untuk menyediakan pedoman untuk memutuskan
dalam kajian manajemen risiko secara lebih terperinci. Dalam hal ini, konteks
ditetapkan menjadi 3 (tiga) kriteria risiko, yaitu sebagai berikut.
1.
Kriteria
Likelihood
Frekuensi per tahun
|
Deskripsi
|
Level
|
Skor
|
1 – 5 kejadian
|
Hampir tidak mungkin terjadi, peluang kejadian
<10%
|
Sangat Kecil
|
1
|
6 – 10 kejadian
|
Kemungkinan terjadi kecil, peluang kejadian mulai
dari 10% - 25%
|
Kecil
|
2
|
11 – 20 kejadian
|
Kemungkinan terjadi sedang, peluang kejadian mulai
dari 25% - 50%
|
Sedang
|
3
|
21 – 50 kejadian
|
Kemungkinan terjadi besar, peluang kejadian mulai
dari 50% - 75%
|
Besar
|
4
|
Lebih dari 50 kejadian
|
Hampir pasti terjadi, peluang kejadian lebih dari
75%
|
Sangat Besar
|
5
|
2.
Kriteria Impact
Parameter (per tahun)
|
Sangat Ringan
[1]
|
Ringan
[2]
|
Sedang
[3]
|
Berat
[4]
|
Sangat Berat
[5]
|
Kerugian Finansial per Tahun
|
s.d. Rp 10 Juta
|
> Rp 10 Juta s.d Rp 25 Juta
|
> Rp 25 Juta s.d. Rp 50 Juta
|
> Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta
|
> Rp 100 Juta
|
Pencapaian RBC
|
>= 100%
|
50% s.d. < 100%
|
30%
s.d. <50%
|
20%
s.d. <30%
|
<20%
|
Pencapaian Target Modal
|
>20%
|
5% s.d. < 20%
|
-5% s.d. < 5%
|
-10% s.d. < -5%
|
< -10%
|
Hukum
|
Surat Peringatan
|
Surat Teguran
|
Surat Somasi
|
Proses Pengadilan
|
Potensi kalah di pengadilan
|
Sanksi
|
Teguran
|
Teguran tertulis, Peringatan
|
Peringatan Keras/Denda
|
Penghentian sementara
|
Cabut izin
|
Reputasi
|
Citra perusahaan buruk di internal
|
Citra perusahaan buruk di masyarakat dan media
lokal
|
Citra perusahaan buruk di media provinsi
|
Citra perusahaan buruk di 1-2 media nasional
|
Citra perusahaan buruk di lebih dari 2 media
nasional
|
Gangguan Operasional
|
< 1 hari
|
1 s.d. 2 hari
|
3 s.d. 4 hari
|
5 s.d. 6 hari
|
> 6 hari
|
Hazard/ Kecelakaan/ Kematian
|
Terjadi kecelakaan tetapi tidak ada korban apapun
|
1 orang mengalami kecelakaan ringan
|
> 5 orang kecelakaan
|
1 orang meninggal/ beberapa kecelakaan parah
|
> 1 orang meninggal
|
3.
Risk Appetite
dan Risk Tolerance
Secara umum, risk appetite perusahaan asuransi jiwa
syariah berada dalam batasan rentang risiko low s/d medium, seperti ditunjukkan
pada grafik di bawah ini.
Kewenangan dan tanggung jawab dalam pengelolaan
risiko:
a.
Risiko yang
berada di atas garis risk tolerance dan berada di level risiko mulai dari 12
sampai dengan 25 menjadi perhatian penuh direksi dalam pengelolaannya.
b.
Risiko yang
berada di atas garis risk tolerance dan berada di level risiko sampai kurang
dari 12 menjadi perhatian penuh kepala divisi dan manajer dalam pengelolaannya.
c.
Risiko yang
berada di bawah garis risk tolerance sepenuhnya menjadi tanggung jawab tingkat
pengelolaan operasional.
No comments:
Post a Comment