Non Performing Financing (NPF) adalah pembiayaan yang terjadi ketika pihak debitur
(mudharib) karena berbagai sebab tidak dapat memenuhi kewajiban untuk
mengembalikan dana pinjaman, hal ini berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor 9/24/DPbs tahun 2007 tentang sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan
prinsip syariah.
Otoritas Jasa Keuangan mengatur tentang Non
Performing Financing dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 15/POJK.03/2017
tentang Penetapan Status Dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. Dalam POJK ini
dinyatakan bahwa rasio kredit bermasalah
secara neto (Non Performing Loan/NPL net)
atau rasio pembiayaan
bermasalah secara neto (Non Performing Financing/NPF net) lebih dari 5%
(lima persen) dari
total kredit atau
total pembiayaan.
Jika dilihat data dari soal di atas, maka
berdasarkan POJK no. 15/POJK.03/2017 NPF belum melewati 5% secara total, namun
perlu dirinci data NPF dari masing-masing Bank Umum Syariah (BUS) maupun Unit
Usaha Syariah (UUS)
Menurut analisa kami ada beberapa faktor yang
mempengaruhi Non Performing Financing di Indonesia dalam kurun waktu 2015 – 2018 diantaranya :
- Manajemen risiko pembiayaan yang kurang dijalankan dengan maksimal.
- Gejolak ekonomi nasional, seperti inflasi, perampingan usaha dengan PHK, nilai tukar rupiah yang melemah dsb
- Tersendatnya pertumbuhan sektor riil terutama terjadi pada sektor pertambangan, komoditas dan sektor penunjangnya seperti tranportasi pengangkutan barang tambang dan komoditas. Pembiayaan syariah sangat erat kaitannya dengan sektor riil, karena mayoritas skema akad pembiayaan syariah adalah untuk mendukung sektor riil yang produktif.
- Isu permodalan yang terbatas.
- Biaya dana (cost of fund) yang relative tinggi yang disebabkan tidak banyaknya dana murah di portofolio BUS/UUS.
- Keberpihakan pemerintah kepada lembaga keuangan syariah dari sisi funding maupun lending masih belum optimal.
- Ketersediaan infrastruktur dan jaringan (networking) perbankan syariah yang belum menjangkau sampai ke pelosok.
- Kompleksitas produk yang masih tinggi, karena mayoritas nasabah tertarik pada produk yang secara persyaratan tidak banyak membutuhkan dokumen.
Jika dilihat data dari Laporan keuangan dari
masing-masing BUS maka diperoleh data NPF adalah sebagai berikut :
Analisa sementara kami adalah, BUS dengan NPF net
tertinggi adalah Bank BRI Syariah dimana masalah utama adalah permodalan yang
terbatas, namun sudah dapat diatasi dengan melakukan Initial Public Offering
(IPO). Dalam penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO), anak
usaha PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) ini memperoleh dana segar mencapai Rp
1,34 triliun, sekitar 80% dana hasil IPO dialokasikan untuk meningkatkan
penyaluran pembiayaan. Untuk jangka pendek BRIS fokus menyalurkan pembiayaan
pada segmen komersial dan turunannya. Hal ini dilakukan untuk mengangkat Financing
to Deposit Ratio (FDR).
Sementara, di saat bersamaan dan untuk jangka
panjang, BRI Syariah juga fokus pada segmen consumer banking. Di tengah
ekspansi gencar menyalurkan pembiayaan, BRIS juga akan melakukan pemetaan untuk
menurunkan non performing financing (NPF). Salah satunya dengan meningkatkan
pencadangan.
BUS dengan NPF net terendah adalah Bank BTPN
Syariah salah satu faktor pendukungnya adalah bisnis model yang unik, menyasar
ibu-ibu dari kelompok prasejahtera produktif dengan nilai pembiayaan rata-rata
Rp 2 juta per nasabah demi terbukanya akses keuangan untuk seluruh lapisan
masyarakat. Selain itu manajemen menjalankan fungsi intermediasi dengan
seimbang dan melakukan program pendampingan.
Sumber : Kontan.co.id.
Demikian pendapat kami atas studi kasus yang
disampaikan, semoga bermanfaat. Barakallahu fikum
Jazakumullahu khayran katshira